Tugas Analisis Artikel
Selasa, 11/12/2012 11:51 WIB
Menggali Potensi Rhoma Irama Sebagai
Kandidat Presiden
Ichdinas Shirotol Mustaqim - detikNews
Jakarta - Pencalonan Rhoma Irama sebagai calon Presiden di
2014 nanti, terus menuai kontravesial di kalangan masyarakat luas, utamanya
masyarakat menengah atas dengan tingkat pendidikan dan kecerdasan yang mapan.
Mengapa demikian?
Sebab tentunya mereka memiliki kreteria standart pemimpin
atas pemahamannya pada betapa kompleksnya permasalahan bangsa ini. Lantas nilai
positif apakah yang dapat diambil dari pencalonan Rhoma Irama, pria yang akrab
dipanggil Bang Haji Oma, dengan gelar sang Raja Dangdut itu?
Mengingat ia sendiri memiliki latar belakang sebagai musisi
(seniman) dangdut yang memiliki berjuta-juta penggemar di seluruh pelosok tanah
air.
Lengkap dengan catatan hidup kontroversial mengenai isu hubungannya
dengan wanita—arti pendatang baru bernama Lely Anggraeny atau akrab dipanggil
Angel Elga dan pernyataannya beberapa waktu lalu pada
Pilkada DKI, dianggap
banyak kalangan mengandung tendensi pemicu konflik SARA.
Bagi penulis (terlepas dari kontravesinya), gembar-gembor
pencalonan Rhoma pria kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1946, berdarah ningrat
ini sebagai kandidat Presiden patut diapresiasi.
Meskipun dalam hitungan-hitungan di atas kertas (kalau ini
terjadi), Rhoma bakal kalah, mengingat rakyat sekarang sudah cukup cerdas dalam
menentukan siapa yang bakal dipilihnya sebagai pemimpin yang sesuai dengan apa
yang mereka butuhkan.
Namun perlu juga dipahami, bahwa musisi dan pencipta lagu
dangdut yang subur dalam menciptakan karya ini ampuh mengangkat harkat martabat
selera kehidupan masyarakat menengah bawah, kaum marjinal, wong cilik atau
apapun sebutannya—yang kian terasingkan eksistensinya di tengah deras kejamnya
arus globalisasi. Persaingan sengitnya dengan "boy band" atau "Gangnam
style".
Dangdut yang sudah puluhan tahun melekat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat kecil, oleh sebagian masyarakat lainnya, khususnya kaula
muda, dianggap musik norak dan dikesankan kampungan.
Padahal dangdut efektif menginjeksi semangat persatuan kaum terpinggirkan
yang disebutkan tadi. Ialah ruh dari rekatnya ke-Bhinekaan Nusantara.
Alunan nada dan syair-syairnya mujarab meleburkan skat-skat
perbedaan. Menembus batasan-batasan SARA dan status sosial lainnya pada
masyarakat Indonesia.
Karenanya menjadi pantas jika dangdut di posisikan sebagai
salah satu alat perekat kebangsaan. Pengejawantahan nyata sila ketiga pada
Pancasila yang wajib dilestarikan.
Pada sejarahnya, dangdut adalah musik (orkes) Melayu kampung
yang dimodernkan—diasimilasikan dengan warna musik India. Dan sedikit banyaknya
Roma berperan di sini.
Mengawinkan musik Melayu kampung dengan Musik India hingga
melahirkan dangdut yang kini begitu digemari masyarakat kecil di seluruh
penjuru Nusantara.
Di desa-desa, di kampong-kampung, di perkampungan nelayan,
di terminal-terminal, di emperan jalan, di gubuk-gubuk, dan lain sebagainya.
Di sinilah selanjutnya letak nilai istimewanya Rhoma dari
apa yang tidak dimiliki kandidat-kandidat lain-nya yang ikut serta meramaikan
bursa kandidat Presiden di pemilu 2014 mendatang.
Rhoma Irama meletakkan dangdut dan karya-karyanya sebagai
visi-misinya. Tanpa disadari, pencalonan Rhoma justru adalah obat yang mampu
menurunkan tensi dari begitu panasnya pergulatan politik persaingan merebut
kursi orang nomor satu di republik ini.
Ia dengan karya-karya dangdutnya mampu memantik api semangat
persatuan, meraciknya menjadi media dakwah jitu yang memantulkan etos kehidupan
baik dan bermoral pada masyarakat. Meski pada praktiknya, Rhoma sendiri begitu
menuai kontravesi: beda lagu (yang dinyanyikan) beda perbuatan.
Hemat penulis, mengingat betapa pentingnya potensi (dangdut
dan karya-karyanya) Rhoma, terhadap semangat ke-Indonesia-an kita, maka siapa
pun kandidat Presiden seyogyanya berkaca pada Rhoma. Bukan mengejeknya,
melainkan merangkulnya.
Mengajak kaum muda untuk lagi mencintai dan mau melestarikan
dangdut sebuah kebudayaan asli karya anak bangsa. Mengambil nilai positifnya
dan membuang jauh-jauh negatifnya.
Dengan begitu, siapa tahu jutaan penggemarnya yang tersebar
di seluruh pelosok tanah air dapat memberikan dukungannya.
Penting lagi dengan alunan, syair-syair dan goyangan
dangdutnya itu, tetap hidup subur bersemi di dalam hati rakyat sebagai salah
satu perekat kebangsaan yang kokoh.
Dan sudah saatnya pemerinta kita memberikan penghargaan bagi
orang-orang yang berjasa menciptakan semangat “Pancasila”, seperti halnya
pemerintah Jepang yang memberikan penghargaan kepada seorang juru masak
restoran yang telah mengabdi 40 tahun melayani masyarakat.
*Penulis adalah Sekjen Komunitas Anak Muda Cinta Indonesia
Ichdinas Shirotol Mustaqim
Jl. Percetakan Negara V No. 2 DKI Jakarta
085221051381
(wwn/wwn)
ANALISIS
Artikel diatas saya dapatkan dari
media online yakni detik.com berisi tentang Rhoma Irama yang mencalonkan diri
menjadi calon Presiden RI 2014 mendatang. Pencalonan tersebut menuai
kontroversi dikalangan masyarakat. Jika dilihat dari bagaimana penulis
menyampaikan opininya , penulis terlihat pro terhadap pencalonan Rhoma Irama
menjadi Presiden RI mendatang.
Artikel diatas merupakan jenis artikel preskriptif karena berisi ajakan, imbauan
atau perintah terhadap pembaca agar melakukan sesuatu. Sesuatu itu maksudnya,
agar pembaca tidak menyudutkan Rhoma Irama. Walaupun tidak didominasi kata
seharusnya, semestinya, atau hendaknya tetapi penulis berusaha mengajak pembaca
untuk melihat sisi baik Rhoma Irama mencalonkan diri sebagai calon Presiden.
Ada bagian yang menunjukkan sekali
kesetujuan penulis terhadap Rhoma Irama bagian tersebut seperti ini ”Hemat
penulis, mengingat betapa pentingnya potensi (dangdut dan karya-karyanya)
Rhoma, terhadap semangat ke-Indonesia-an kita, maka siapa pun kandidat Presiden
seyogyanya berkaca pada Rhoma. Bukan mengejeknya, melainkan merangkulnya.”
0 komentar