Di Kereta Api, Aku Hampir Meregang Nyawa
Setelah dua hari dalam keadaan koma, akhirnya aku tersadar dari ajal yang hampir saja merenggut nyawaku. Ku buka kedua mata perlahan sambil merasakan sakit yang masih tertanggal di sekujur tubuh, terutama kaki. Kurasakan ada sesuatu yang aneh saat itu. Aku menoleh secara perlahan dan merasakan ada sesuatu yang berbeda. “Kemana kaki kananku?”, tanyaku dalam hati. Aku menyadari bahwa kakiku telah tiada, ya kaki kanan ku telah diamputasi. Awalnya aku shock, “Tapi ya sudahlah”, batinku.
Aku tak melihat seorang pun saat itu. Tak lama kemudian Ibu datang dan menghampiri. Ibu terlihat sangat sedih dan depresi, serta mulai meneteskan air mata sambil menatap dalam-dalam ke arahku. Tentu Ia tak kan sanggup melihat nasib anak pertamanya terbaring tak berdaya di atas ranjang Rumah Sakit Sumber Waras, Grogol.
Orang tua mana yang tidak sakit melihat anaknya cacat. Aku akan cacat seumur hidup tanpa adanya kaki bagian kanan. Bagaimana kelak masa depanku?, itu yang ada dipikiran wanita terhebat yang ku miliki. Ibu takut kalau-kalau kelak aku sulit mencari pekerjaan hingga masa depannku menjadi suram.
Bukan hanya Ibu saja, tetapi ada beberapa sanak saudara yang sengaja datang dari Palembang dan Magelang untuk menjenguk. Mereka pun menatap iba melihat keadaan aku. Lalu teman-teman sekolahku serta teman-teman dari komunitas pecinta kereta, yakni Komunitas Edan Sepur Indonesia juga datang. Aku memang sangat menyukai kereta. Salah satu hobiku adalah pergi kesuatu tempat untuk sekadar jalan-jalan, tapi tanpa persiapan yang matang dan biaya yang memadai atau lebih tepatnya aku ini seorang backpacker. Itulah kenapa aku menyukai kereta api. Mereka semua mendukung aku untuk bangkit dan tidak harus menyesalkan semua yang telah terjadi.
Saat itu tak terlihat kehadiran ayah. Kemana Ayah? Tanyaku dalam hati. Ternyata ayah tidak ada. Bahkam ayah tak sekalipun menjagaku saat aku dalam keadaan tak sadarkan diri, bahkan ayah tak menjengukku. Aku tahu, ayah melakukan ini bukan karena Ia tak sayang kepadaku, tapi Ayah terlalu lemah jika harus melihat anak pertamanya telah kehilangan kaki kanannya. “Mungkin ini terlalu menyakitkan bagi ayah”, pikirku.
Apa aku histeris atau berteriak ketika menyadari sebelah kakiku harus harus diamputasi? Tidak! Aku tak histeris atau bahkan berteriak saat menyadari bahwa kaki kanan ini telah diamputasi. Aku bukannya pasrah, tapi aku hanya merasa tak patut menyesali semua yang telah terjadi. Ini kehendak Allah.
Sekitar dua minggu sebelum peritiwa itu terjadi, ibu bertanya kepadaku “Kaki kanan kamu kenapa?”. “Nggak kenapa-kenapa, Bu. Tuh liat tuh ngga apa-apa kan?”, jawabku sambil menghentak-hentakkan kaki kanan ke lantai. Ternyata ucapan Ibu adalah sebuah firasat seorang Ibu bahwa akan terjadi sesuatu kepada anaknya.
Namaku Ardi Rizki Yozho. Teman-temanku banyak yang memanggilku Ijon. Anak pertama dari dua bersaudara. Peristiwa yang takkan pernah aku lupakan sampai kapanpun itu terjadi pada 15 Januari 2011 silam. Saat itu Aku masih duduk di bangku kelas 2 SMK Al-Muhadjirin jurusan Teknik Kendaraan Ringan. Kecintaan pada kereta membuatku memilih DIPO Lokomotif Tanah Abang PT KAI untuk menjadi tempat Praktek Kerja Lapangan (PKL) dari sekolah. Setiap harinya aku menuju tempat PKL dengan menggunakan kereta api dari stasiun Bekasi.
Pagi itu sangat cerah. Tak ada firasat apapun yang aku rasa. Seperti biasanya, dengan menggunakan angkutan umum aku menuju stasiun Bekasi untuk melaksanakan PKL. Sesampainnya di tempat PKL, pekerjaan yang aku terima tidak berat, hanya bantu-bantu mengecek keadaan lokomotif kereta saja. Jam dua siang pekerjaanku telah usai hingga aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah di perumnas 3, Bekasi Timur.
Ku rogoh kantong celana dan membeli tiket kereta api ekonomi jurusan Tanah Abang-Bekasi. Tapi tiba-tiba aku berubah pikiran ketika sebuah kereta batu bara melintas dan berhenti. “Ah naik kereta ini saja biar cepet sampai rumah”, pikirku saat itu. Kereta batu bara tentu tidak akan melakukan transit di setiap stasiun yang dilewati, jadi tanpa berpikir panjang aku memutuskan untuk menaiki kereta tersebut walaupun sebenarnya ini melanggar aturan. Tapi sebelumnya aku pernah melakukan ini.
Sambil memasang kedua headset di telinga aku mendengarkan musik. Terlihat seorang pria berambut panjang tanpa menggunakan baju berada dalam satu gerbong dengaku yakni gerbong pertama di belakang lokomotif. Ia sempat meminta api untuk menyalahkan rokok. Baru dua stasiun terlewati, tiba-tiba aku melihat dua orang pria memanjat gerbong dan keduanya membawa batu.Aku masih tetap mendengarkan musik sampai kedua orang itu mendekatiku.
“Gue minta handphone lo dong”, ujar salah satu dari mereka.
“Gue nggak ada handphone bang”, jawabku berbohong.
“Jangan bohong lo”
“Gue adanya duit nih itu juga buat ongkos balik”
Merek mungkin kesal karena dibohongi. Tentu mereka tahu aku memiliki handphone, karena jelas-jelas headset masih menempel di telingaku. Tanpa basa-basi mereka langsung memukuliku dengan batu yang mereka bawa. Aku tak sanggup melawan dan akhirnya didorong hingga terjatuh dari gerbong dan terlempar. Aku tak sadarkan diri.
Aku sama sekali tidak ingat apa saja yang terjadi sesaat sesudah jatuh dari kereta api. Bahkan aku tak tahu apa yang dilakukan pria tanpa baju dan berambut panjang yang meminta api untuk membakar rokoknya itu kepadaku, yang aku ingat salah satu dari pria yang memukuliku memakai topi.
Saat aku terbaring tak berdaya di antara dua sisi rel kereta api, ada seorang saksi yang bahkan aku lupa namanya. Ia yang menolongku pertama kali. Ia juga bercerita, katanya saat itu aku sudah ditutupi koran karena dianggap sudah meninggal. Saat ditutupi koran, aku merintih kesakitan. Kepalaku bocor, tangan, badan penuh dengan luka dan yang paling fatal, kaki kiriku telah putus saat itu juga.
Akhirnya dengan menggunakan truk aku dilarikan ke rumah sakit. Sudah tiga rumah sakit tak bisa memberikanku pertolongan pertama karena semuanya penuh. Hingga akhirnya Rumah Sakit Sumber Waras, Grogol, menerima seorang anak laki-laki yang sedang meregang nyawa ini.
Aku sangat bersyukur kepada Allah yang masih mengizinkanku menghirup udara segar, walaupun aku harus kehilangan kaki kananku. Aku tahu Allah memberikan cobaan ini karena Ia sayang denganku. Aku tak pernah menyesal karena aku masih tetap bisa melakukan hal-hal yang aku suka. Hampir tiga bulan aku tidak masuk sekolah karena dalam proses penyembuhan.
Akhirnya aku kembali ke bangku sekolah lagi. Aku rindu teman-teman. Aku sangat rindu sekolah saat itu. Dengan menggunakan tongkat aku kembali menuntut ilmu. Aku tak merasa malu untuk kembali ke sekolah dalam keadaan cacat. Aku pun tak mau terlihat sebagai sosok seseorang yang harus dikasihani maka dari itu aku selalu berusaha melakukan apapun yang memang masih bisa aku lakukan tanpa bantuan orang lain.
Aku memutuskan untuk menggunakan kaki palsu yang tebuat dari fiber. Sangat sulit menggunakan fiber, karena beratnya bisa mencapat 3 kg. Sehingga walaupun memakai kaki palsu aku tetap menggunakan tongkat. Aku ingat, tak lama sejak aku mulai menggunakan kaki palsu fiber aku sudah langsung menaikki kereta api lagi karena saat itu sedang ada promo dari PT KAI. Walaupun aku hampir meregang nyawa di kereta api, kecintaanku terhadap kereta api tidak pernah sirna.
Aku merasa kaki fiber ini kurang efektif, maka aku menggantinya dengan kaki palsu dari stainless. Kaki palsu stainless ini yang sampai sekarang menemaniku ‘gowes’ setiap hari. Kendati aku kehilangan kaki kanan, aku masih bisa menjalani hari-hariku tanpan rasa sedih.
Ketika aku sedang asik ‘gowes’ tak sedikit orang yang memperhatikanku dari belakangan, saat aku menoleh ke samping mereka langsung mendahului. Aku tahu keadaanku yang seperti ini akan menarik perhatian orang di sekitar. Sekali lagi, itu bukan masalah bagiku.
Sekarang aku sudah menjadi seorang mahasiswa semester dua di Politeknik Negeri Jakarta jurusan Teknik Grafika Penerbitan. Setiap akhir pekan aku pulang ke rumah dengan mengendarai sepeda motor. Aku bersyukur aku masih bisa menjalani hidup layaknya orang normal.
(Oleh : Anggi Istiqomah)
0 komentar